ITB world Class University kah?
Posted April 22, 2008
on:- In: humaniora
- 4 Comments
Seperti kita tahu, rektor kita ini sekarang sedang gencar-gencarnya melakukan kampanye visi ITB World Class University. Salah satu komponen terpenting ukuran world class university adalah paper hasil risetnya. Baik kualitas ataupun kuantitasnya. Namun, benarkah kalo paper ITB banyak dan berkualitas kemudian ITB layak menjadi World Class University. Tunggu dulu…itu kan hanya paper, paper = kertas.
Beberapa waktu lalu Prof Yanuar salah satu senat ITB dari Teknik Elektro STEI mengungkapkan hal lain. ITB ternyata terlalu terbawa oleh isu World Class University dengan paper-papernya. ITB tidak memberikan solusi konkrit terhadap permasalahan bangsa. Bahkan untuk sampah dalam kasus Bandung tempo dulu saja ITB tidak bisa berbuat apa-apa. Isu itu bisa saja dibawa oleh kaum imperialis untuk membuat bangsa kita tidak maju karena terus berkutat pada paper-paper saja. Walaupun itu hipotesis yang terlalu cepat untuk ditelurkan rasanya ada benarnya juga kalau kita analisis lebih dalam.
Coba saja kita lihat sekarang, adakah karya ITB di sekitar kita yang memberikan systemic impact (dampak yang dahsyat) terhadap masyarakat? Walaupun ada beberapa saya lihat seperti di jurusan saya sendiri seperti dmr (www.digitalmarkreader.com). Rasanya produk-produk seperti ini jarang sekali ditelurkan ITB. Sebagai universitas terbaik di Indonesia, harusnya ITB bisa memberikan sesuatu lebih kepada masyarakat Indonesia bukan hanya paper-paper belaka. Saya kira kita harus meredefisini ulang istilah World Class University menurut definisi kita sendiri bahwa World Class University merupakan universitas yang banyak memberikan nilai lebih terhadap masyarakat sekitar. Secara empirik bisa kita lihat dengan mudah bahwa hasil riset dosen dan mahasiswa ITB bisa diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tentunya dengan memberikan nilai tambah tertentu.
4 Responses to "ITB world Class University kah?"
Titip backlink wae 👿
1 | reditya
April 25, 2008 at 1:56 pm
hmm… memang seperti pedang bermata dua. di satu sisi, untuk bersaing dengan dunia akademis di luar negara kita, tak pelak produktivitas civitas akademika itb untuk memproduksi paper2 dan ikut dalam konferensi2 internasional “diharuskan”.
tapi di sisi lain, masyarakat juga menuntut itb produktif dalam ilmu-ilmu praktis aplikatif yang bisa dirasakan manfaatnya bagi orang banyak.
memenuhi poin pertama saja cukup susah, harus merombak budaya menjadi research based, bukan get-work-after-graduate-based ‘saja’. sementara poin kedua, dengan segala kompleksitas kehidupan di luar dunia akademis (dana, politik, kebijakan), rasanya tantangannya juga cukup besar.
kalau masalah ide, kreatifitas, problem solving dsb, saya kok percaya itb masih leading. tapi sewaktu harus turun untuk diaplikasikan, itu mungkin yang jadi masalah 😀